SAJAK PAHLAWAN
Darahmu menyatu dengan bumi pertiwi
Tulangmu tersusun rapi di tanah ini
Jiwamu melebur
mesra dengan embun
Semangatmu menghantarkan sangsaka mencabik angkasa
Kini kau telah tiada dalam jejak yang ditinggalkan
Terkubur dalam pekikkan kemerdekaan
Menyimpulkan senyum dengan peluru dijantungmu
Menjadikan catatan yang bernama sejarah
Kenapa darahmu tak mengalir di nadi kami
Ketika pertiwi merindukan orang sepertimu
Kami tak punya nyali, kami bisu
Kami bersembunyi di ketiak urbanisasi
APRIL 2009
KAKI LIMA
Terbentang liar di sudut kota yang kejam
Berteriak seakan menghipnotis
Tegar tubuhmu bagaikan gunung
Bergemuruh di tangah hiruk kota
Kau berjuang demi kehidupan
Di tendamu bak istana itu
Bukankah klita sama?
Sama dalam kerinduan yang hangat
Sama dalam balutan kain bendera
Sama dalam ketertindasan
Karena kita adalah bunga yang tumbuh di trotoar
Tanpa adanya pupuk penyuburan
Atau, kita ini adalah jamur beracun
Yang tumbuh sesuka hatinya
Dan bisa dimusnahkan kapan saja
Tapi kita tetap saja sama
Meski kita
terus dibedakan
Karena
kita sama-sama telah dititipkan
Negeri yang indah dan subur ini
Dan jangan kita pungkiri titipan itu
JERIT TANGIS ORANGTUANYA
Dia terdiam dalam heningnya
Menjerit parau di selah rindu yang menggelegar
Bertanya dan terus bertanya
Tentang siapa yang telah berbuat apa?
Harus ada senjata untuk bertahan
Dijadikannya tangis sebagai senjata
Sebagai pelindung dalam ketakutan
Sebab dia tak mampu membeli belati
Orangtuanya menjerit dan menangis
Orangtuanya menjadi korban dan terbuang
Peluhnya terus berdarah
Tetes demi tetes terkucur dan jatuh ke pipi anaknya
Orangtuanya menjerit dan menangis
Karena ibunya tak biru lagi
Ayahynya tak rimbun lagi
Terus menjerit dan menangis
Medan Juni 2010
JANGAN TUNGGU MULUT DIBUNGKAM
Susunlah huruf di hatik kita
Rangkailah menjadi kata-kata
Gumpal dan bungkuslah di pita suara
Jadikan kalimat untuk nusantara
Pekikikan kalimat itu
Sangkutkan di ujung tiang pengharapan
Hembuskan ke telinga durjana
Jadikan mimpi mereka membusuk
Teriak, teriaklah sekuatnya
Lengkingkan semua suara
Teguhkan demi pertiwi
Sudah terlalu banyak wajah pucat
Biarkan amarah dan cinta melebur
Dalam hati, dalam kalimat yang diteriakkan
Karena Nusantara rindu suara itu
Tanpa ada lidah yang keluh
Jangan tunggu bibir dijahit aturan
Jangan tunggu mulut dibunmgkam rantai besi penguasa
Teriakkanlah untuk saudara tercinta
Untuk jiwa yang selalu tertembus peluru tirani (Padang, Februari 2011)
SAJAK PENCIPTA ROBOT
Kau punya gelar yang hebat
Pahlawan tanpa tanda jasa katanya
Bak mentari kau terangi gelapku
Dan kau sejukkan resahku
Kau beri wajang dari ribuan buku
Coba menyumbat celah otakku
Kau inginkan aku jadi Albert Einstein
Tapi aku ingin jadi Rendra
Kau inginkan aku menjadi penghafal definisi
Tapi aku ingin jadi pemapar imajinasi
Kini aku mulai ragu
Mungkin kau tak tahu apa itu ilmu
Karena kau hanya mampu mendikte
Memaksaku menjadi apa yang kau inginkan
Sudahlah!
Kau telah berhasil merubahku menjadi mesin
Yang siap melacurkan ijazah
Menuju gedung produksi
Kiniku bukan Albert Einstein dan Rendra
Aku hanya robot
Lebih baik kau ubah saja gelerrmu
Menjadi pahlawan pencipta robot
Medan, Maret 2011
SAJAK SUARA
Satu cahaya satu jiwa
Berkilau bias di lorong gelap
Kertas, tinta dan tempat sampah
Gantikan terikkanku yang terbungkam
Aku ingin jadi minoritas
Tidak butuh optoritas sang raja
Yang berkotbah merusak moral mayoritas
Di mimbar beringin tanpa embun
Kini para nabi tak tenar lagi
Sebab rahim televisi
Mengandung bibit-bibit idola baru
Lahir dengan bentuk yang menggiurkan
Medan, Maret 2011
ILALANG DAN RUMPUT LIAR
Azan subuh melantun merdu
Di sela sesaknya pemukiman mewah
Tanpa senyum sang embun
Mentari mulai memuncak
Dendangkan nyanyian robot bernyawa
Lantang membungkus nada burung pagi
Sepakat mengusir ilalang dan rumput liar
Kini ulat dan belalang
Berubah menjadi kanibal
Sebab ilalang dan rumput liar
Terusir dari tanah pertiwi
Padang, Februari 2011
HANYA SEBUAH RINDU
Ada kerinduan yang terpaksa kusimpan
Di telaga samudera peraduan
Di semak gedung angkuh kota besar
Di desir angin yang tersangkut di ilalng liar
Terpaksa aku menyimpannya
Karena rasa itu telah membusuk
Di dalam gubuk imajinasiku
Di puncak gunung emosiku
Mungkin hati ini terlalu lemah untuk rasa itu
Atau mungkin aku terlalu apatis untuk rindu itu
Sering kali kupaksa raga kecil ini
Terus bergerak layaknya ombak
Namuin karang itu terlalu besar
Mentari dan bulan muncul bergantian
Sudah banyak musim aku singgahi
Banyak jarum jam yang kupatahkan
Tapi belum juga aku mersakannya
Hingga udara penuh serbuk tembaga
Sampai jaring nelayan tersangkut pada pemangsa laut
Dan rimba terguyur racun serangga
Belum jua kerinduan itu datang
Mungkin malam sudah melumat habis rinduku
Hanya satu kata yang kurindukan
Satu kata nmilik semua manusia
Ya, kebenaran yang aku rindukan
Pasaman, Februari 2011
SAJAK SEMAK GUBUK REYOT
Di bibir jalan yang terbuat dari beton mahal
Di tengah hingarnya kotbah bapak pemimpin
Ingin menjadikan Medan Kota Metropolitan
Bapak pemimpin itu beretorika
Pembangunan butuh pengorbanan
Atau lebih tepatnya perlu tumbal
Ya, harus ada tumbal untuk pembangunan
Harus ada lambung yang ditumbalkan
Ada tanah yang yang ditumbalkan
Ada gubuk reyot yang ditumbalkan
Ada nada yang ditumbalkan
Demi Medan kota metropolitan
Medan, Marety 2011
DI SINI
Tanpa terang yang berarti
Tanpa kelam yuang menakutkan
Hanya abu-abu yang mesrah
Terus bercumbu dan memanja
Aku pernah bertanya pada pelangi
Tentang wrananya yang cerah
Tentang bentuiknya yang elok
Dan semua itu hanya hadir sesaat
Aku pernah bertanya kepada serdadu
Untuk apa dia hidup
Kalau hanya membiarkan
Peluru menghuni tubuhnya
Di negeri ini
Aku pun menemukan jawabannya
Dari rumput yang selalu sabar
Dari tangis bayi yang merdu
Medan, April 2011
SUNGAI SAMPAH JANTUNG KOTA
Bayi-bayi terbangun
Menginjak pagi dengan tangisan
Pertanda ada batu angkuh
Di atas bangku sang raja
Bocah-bocah pun menceburkanm diri
Di sungai sampah jantung kota
Kemudian hanyut dan tenggelam
Lalu berubah menjadi bangkai
Ada ibu yang terdiam
Melihat bebek-bebeknya
Tak mampu berenang
Di sungai sampah jantung kota
Mentari tertawa gelak
Melihat umbul-umbul partai
Bertahtah dengan bijak
Di pinggir sungai sampah jantung kota
Metropolitan tenggelam dan hanyut
Sungai sampah jantung kota mengamuk
Kulkas, Tv dan ember
Semuianya tenggelam
Pagi pun kembali
Embun-embun menangis
Melihat robot-robot bernyawa
Mendirikan istana yang mewah
Di bibir sungai sampah jantung kota
Medan, April, 2011
SAJAK TOPENG MALAM
Surya sudah di kai langit
Meninggalkan cahayanya yang redup
Sudah saatnya rembulan naik
Menjadi benda pelengkap langit
Sekelompok burung terbang ke peraduan
Riangnya bocah-bocah mulai meredup
Sang bilal mulai mendengkur
Kain hitam pun membungkus langit
Kau pun mulai meninabobokan anakmu
Anak yang tak diharapkan keberadaannya
Topeng tengah malam kau kenakan
Berjalan kecil di tengah sesaknya gedung kota
Denus rayuan senjata pamungkasmu
Memikat durjana kepelukanmu
Memanjakan mereka yang bertanduk
Menghasut demi kehidupan
Peduli maki yang menghantam nuranimu
Peduli hukuman
Tuhan yang kau terima
Ini hidupmu, hidup bernafaskan udara hitam
Kehidupan yang memaksamu mencibior diri sendiri
Subuh hampir memuncak
Kau tanggalkan topengmu
Doa kecil terlontar dari bibirmu
Jangan jadikan generasimu sepertimu
Jangan biarkan malam dipenuhi topeng-topeng
Medan, Januari 2011
SAJAKL MALAM
Ada embun yang tersenyum bias
Ketika kokok ayam belum terlepas
Di ujung daun yang terguyur racun
Di sela doa yang teredup habis
Bulan terang bertelanjang bulat
Terdengar tangis bayi-bayi suci
Haus mencari mendengar dongeng-dongeng
Tentang tawa para durjana
Beberapa kilo dari tempat dudukku
Ada malam kosong yang menangis
Ketika pakaian dalam dan jas mahal
Melebur di kamar hotel
Ada malam kosong yang kecewa
Ketika mobil berplat merah
Berkilau pucat pasih
Di parkiran mall-mall mewah
Ada malam kosong yang terkejut
Ketika remaja belasan tahun
Merasakan kenikmatan
Di tengah gelas awang-awang\
Ada malam kosoong yang terharu
Ketika orangtua menjerit
Di tengah sunyi rimbah gubuk
Jantung bayinya telah membeku
Ada malam kosong yang terbungkam
Ketika sejarah dipalsukan
Ketika istana penuh dengan sampah
Bunda pertiwi hampir menggantung lehernya
Medan, Mei 2011
SAJAK PERCAKAPAN
Mari mendekatlah ke sini
Mari kita berbincang
Dengan hati telanjang
Dengan akal yang penuh denga pertanyaan
Di sini ada kopi
Dan sedikit hidangan senja
Merah, putih, kuning, biru
Dan masih banyak warna lagi
Mari kita berbicara
Tentang kenikmatan lidah yang terbiasu
Oleh jargon-jargon pembusukkan
Yang terpotong pedang kepalsuan
Medan, Mei 2011
KAMAR GELAP
Pagi telah habis dilalap senja
Wnrna jingga mencuat denga lembut
Meruntuhkan ketakutan ini
Menjanjikan sebuah ketenangan
Lampu kota berkilau redup
Menyediakan tempat persembunyian
Bagi belasan bocah malam
Di balik tirai pinggiran kota
Hutan-hutan gedung
Sungai-sungai sampah
Beton-beton gubuk reyot
Sebuah bingkai pemakaman
Nada-nada pengakuan terpenjara di kamar gelap
Medan, Mei 2011
HILANG
Lembaran sejarah kusam
Telah menjadi patung monumen
Terkenang dalam sebuah catatan
Suara kebenaran yang hilang
Mereka telah hilang
Bersam suara-sura mereka
Bersama bait-bait kebenaran mereka
Disapu badai kedurjanaan penguasa
Gelak tawa terdengar sumrinmgah
Ketika anak kehilangan bapaknya
Kawan kehilang sahabatnya
Malam kehilangan bintang-bintang
Cahaya terang yang mereka bawa
Semuanya menghilang
Di balik meja megah istana
Pemimpin yang berparas gelap
Wahai bunda pertiwi
Cinta suci mereka padamu
Harus hilang ditelan kebencian
Kebencian pemimpin yang menjadikan dirinya Tuhan
Katakan bunda pertiwi
Berteriaklah kepada hati mereka
Yang tuli dan bisu itu
Tubuhmu bukan untuk mengubur kebenaran
Bukan untuk menghanyutkan kebenaran
Mereka yang hilang
Berharap pada generasi mendatang
Berani berteriak tentang kebenaran
Berani menulis tentang syair indah
Meski semuanya akan menghilang
Medan, Mei 2011
TINTA, KERTAS, DAN BAIT
Lembaran para kertas
Memaksa tinta pena
Untuk memaki dan berteriak
Kepada logika, nurani, dan logika
Menciptakan sekenario baru
Di atas panggung yang tertutup
Tirai hitam yang berdebu
Tentyang cerita pijakan sebuah pandangan
Tentang bait-bait pelangi
yang terus memberikan warana
sesudah badai mengkelamkan langit
menerbangkan aturan dan menghilangkannya dari manusia
tinta, kertas, dan bait
jatuh dan peresap ke tanah pertiwi
seperti darah para pejuang
yang menjadi pupuk bagi bunga
peluru altileri dan suntikan mati
milik para tirani
takkan mampu merdeup bait ini
dan takkan mampu menembusnya
tinta, kertas, dan bait
untuk bumi negeri pertiwi
untuk hati dan logika yang terbungkam
untuk jiwa yang terpenjara
di gedung-gedung pembodohan
Medan, Junni 2011
KORBAN
Terlalu sering mereka mencuri pagi
Menyimpanya dalam buku penjara
Terlalu banya lidah yang mereka potong
Dengan pedang yang hitam
Mereka memaksa kita membakar kitab
Dengan api-api pencucian otak
Mereka mendikta apa yan kita baca
Dan kita hanya melihat dan tertawa
Kereka selalu membuat kita sibuk
Untuk mendefinisika kata kenyang
Hingga kita tidak pernah menangis
Ketika jingganya senja berubah hitam
Mereka mengajarkan kita
Air mata hanya sebuah kecengengan
Bukan lagi sebuah sikap
Bukan lagi pupuk-pupuk
Penyubur bunga-bunga jiwa
Karena kita telah menjadi korban
Medan, Juni 2011
KITA DAN PERTIWI
Kita adalah
generasi muda
Yang diutus untuk membunuh
Semua generasi tua
Yang memperkosa ibu pertiwi
Kita adalah buku ilmiah
Yang disetiap babnya
Harus ditulis dengan tinta emas
Dan diberi wewangian
Kita adalah suara dalam kebisuan
Di mana hampir banyak orang
Harus membayar mahal
Untuk berpidato di mimbar
Kita adalah tarian dalam kekauan
Di mana selama ini
Nada-nada terbingkai abstrak
Oleh album-album ketenaran
Kita jiwa pada hutan
Yang memberikan oksigen hijau
Untuk jutaan bayi bunda pertiwi
Yang menangis keras di hari pertamanya
Kita memang berbada
Tapi kita satu dalam perubahan
Kita adalah wajah pertiwi
Wajah yang akan tersenyum
Atas nama cinta dan kebenaran
Medan, juni 2011
AKU DAN PENIKMATANKU
Aku menikmati itu
Menyelaminya dengan tenang
Membaur dengan butir hujan
Menyangkutkan hitam pada warna pelangi
Aku nikmati pikiran ini
Dengan merendahkan setiap birahi
Menutup rapat kedua telinga
Membiarkan mata
berimajinasi
Berbincang mesrah dengan logika
Kunikmati kalimat ini
Kalimat yang jatuh dari bibir mereka
Kalimat dusta yang syahdu
Kalimat yang bersemayam di istana
Kunikmati keterasingan mereka
Keterasingan yang mendefinisikan keangkuhan
Kunikmati dengan butir darah yang jatuh
Kunikmati semuanya dengan kibaran setengah tiang
Medan, Juli 2011
AKU TIDAK DIAM
Kini kutak mampu berhitung
Sebab angka-angka itu
Hanya milik para penguasa
Tentang angka rupiah yang menghilang
Kini kutak mampu membaca
Sebab kalimat hanya milik para penguasa
Kalimat indah di mimbar
Yang menghantarkan hukuman pancung
Pada saudari perempuanku
Kini kutak pandai bernyanyi
Sebab nada hanya milik para penguasa
Yang terus berirama perdamaian
Tanpa irama pembenaran
Tapi aku tidak diam
Kanterus kukeluarkan air mata
Kan kujadikan tinta emas
Untuk menyusun bait-bait pembelaan
Medan, Juli 2011
AIR MATA KALIAN BERDARAH
Wajah teduh terbungkus kain bendera
Terhimpit marmer di pucuk istana
Wajah teduh yang terus menangis
Dan air mata itu terus berdarah
Tubuh kurus yang terbaring
Di teras gedung-gedung peraduan
Diselimuti dendam api
Air matanya mulai berdarah
Kalian belum mati
Kalian belum hilang
Kalian belum jatuh
Walau air mata kalian berdarah
Kalian masih bisa berdansa
Kalian masih bisa marah
Kalian masih bisa membunuh
Walau air mata kalain berdarah
Medan, Juli 2011
SAJAK AYAH
Akua selalu ingat saat kau mengayunkan cangkulmu
Meggali dan menanamkan harapan besar padaku
Memberi pupuk doa yang tulus
Dengan semmangat yang terus tegar
Akau selalu ingat akan nasehatmu
Nasehat yang kau keluarkan dengan kaliamt cinta
Dengan wajah teduhmu
Dengan bibir tuamu itu
Aku ingat saat kau berkata padaku
“Yang rajinlah kau kuliah
Jadilah kau sarjana yang besar
Carilah terus ilmu itu nak”
Aku selalu gemetar ketika mengingat nasehatmu
“nak, kau masih muda
Sekolahlah yang tinggi
Ubahlah negeri ini”
Gemetarku semakin menjadi
Ketikaku mengingat harapnya
Agar aku melakukan perubahan
Mengabdi dengan ilmu dan imanku
Ayah, apakah kau akan marah padaku?
Ketika aku melacurkan ijazahku
Di atasa meja si sipit dan si pirang
Dan menjual ilmuku demi keuntungan pribadi
Ayah, apakah aku termasuk anak durhaka
Ketika harap besarmu padaku
Harus kubalas dengan menjadikan diriku
Robot-robt zaman yang tertikam materi
Ayah, maafkan aku
Ketika semua asa itu nanti
Hanya akan menjadi asa
Dan tetap membeku
Medan, Juli 2011
KATAKAN PADANYA
Katakan padanya aku sakit
Kini aku sedang kronis
Komplikasi bertubi-tubi kurasakan
Seluruh tubuh ini mengerang kesakitan
Sampaikanlah kepadanya
Hulu hatiku telah membusuk
Akibat film porno yang ditontonkannya
Dengan dosis berlebih bahkan meluap
Beri tahukan padanya
Darahku telah menghitam
Akibat suntikan opium pidatonya
Dengan dosis yang berlebihan
Ceritakanlah padanya
Jantungku telah rusak
Akibat oksigen palsu yang diberikannya
Dengan dosis yang berlebihan
Jangan lupa katakan padanya
Tentang semua sakitku
Tentang semua deritaku
Katakan semjua itu padanya
Katakan aku butuh obat
Yang mampu menyembuhkan penyakitku
Yang mampu membuatku berlari
Yang mampu membuatku berdansa
Katakan pada presiden itu
Sakit ini akan berubah menjadi sikap
Yang akann membom atom istananya
Yang akan merobek jantungnya
Medan, Juli 2011
BAIT UNTUK SI BEYE (I)
Beye, tadi pagi aku kuketuk pintu rumahmu 250 juta
kali
Tapi rumahmu kosong, bahkan udara pun tak ada
Hanya ada kolam keringat yang siap kau ekspor keluar
negeri
Dan buah-buahan yang kau beli dari tetangga
Beye, aku datang ke rumahmu hanya ingin bercerita
Tadi malam adik temanku ditiduri asap beracun
Anak tetanggaku ditampari angka merah oleh gurunya
Ladang ubi tetanggaku dirampok
Dan banyak bayi yang hanyut di sungai sampah
Beye, tinggalkan sejenak mimbarmu
Jumpai aku ditanah 2x1 yang kau berikan
Mari kita hapal kembali pancasila
Dan sedikit upacara bendera di tanah sepetak ini
Beye, seandainya kau jadi main ke tempatku
Jangan lupa tanggalkan jas 300 jutamu itu
Aku takut tetanggaku pingsan melihatnya
Karena mimpinya telah lama mati suri
Kan kusiapkan semua keperluan untuk hobimu
Kan kusediakan seperangkat alat tata rias
Karena kutahu hobimu
Merias elok wajahmu
Beye, kau tak perlu takut ke tempatku
Di tanah sepetak ini tidak ada mahasiswa dan profesor
Di tanah ini hanya ada buruh dan petani
Dan juiga muda-mudi yang belum pandai merangkai kosa
kata revolusi
Beye, aku tunggu kedatanganmu
Kutunggu di tanah 2x1 ini
Di tanah yang hanya memiliki satu tiang dan satu bendera
Dan semerbak budaya senyum
Medan, Juli 2011
BAIT UNTUK SI BEYE (II)
Ada pesan dari kami untukmu
Pesan ini bukan tentang kepiawaanmu
Dalam menggoyangkan kursi modern itu
Juga bukan tentang mahalnya harga jasmu
Bukan juga tentang kehebatan kalkulatormu
Pesan ini bukan tentang berapa banyak
Tank yangh kau beli dari negara kuasa itu
Bukan juga tentang tanah 2x1 yang kau sedekahkan
kepada kami
Juga bukan tentang kain bendera yang lusuh di istanamu
Pesan ini tentang berapa banyak lagi
Akan kau kirim saudara kami ke tanah suci itu
Kalau hanya untuk dipancung kepalanya
Medan, Juli 2011
LINTAH
Jutaan lintah merayap pelan ke luar
Dari kubangan kerbau tua
Menghisap manisnya darah petani
Menghisap jantung hutan yang membatu
Lintah jantan dan betina terus menggeliat
Mengeluarkan banyak tawa yang terpingkal
Menhantui setiap sudut pedesaan
Tidak memuntahkan lagi darahnya
Lintah menghisap darah anak wayang
Menghisap darah bahasa remaja
Menghisap lidah mahsiswa
Menghisap darah kami yang ingin marah
Cinta dan kebenaran habis terhisap
Hanya menyisakan waajah pucat pasih
Bunda pretiwiku, kebayamu sudah tak merah lagi
Medan, Juli 2011
GERHANA HITAMMU
Gerhana hitammu gerhana tawamu
Sinarnya kau tutupi dengan gedung 7 triliyun
Mengusir kilauan embun
Membunuh ilalang liar
Amuk lahar dan laut yang singgah
Kau sambut dengan kibaran bendera terbalik
Caci pun anggap bisikan
Di dalam tv kau didik kami jadi pengecut
Kitab Tuhan kau jadikan pusaka fiksi
Nasehat orang suci kau jadikan kosakata sejarah
Kau suapi kami dengan sisa muntahmu
Dengan kotbah yang kau tuangkan di dalam sebotol bir
Langit makin hitam, gerhanamu makin liar
Kami kau jadikan berang-berang, rusa, dan singa
Yang bertarung dan membunuh
Demi kesehimbangan hidup
Gerhanamu kian hitam dan pekat
Tunggu saja sampai kami menjadi srigala buas
Yang selalu menglonglong menagih janji santapan rohani
Menagih sinar mentari yang kau janjikan
Sudah lupakah kau dengan janjimu
Turun sajalah dari kursi goyang istana itu
Karena jutaan srigala buas ini
Lapar akan daging kerbau tua
Medan, Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar