Aku Dan Pilihan Kemunafikan
Oleh: Idral Mahdi
Banyak manusia yang
mendefinisikan makna kehidupan adalah pilihan, sebuah makna yang akan
menjadikan manusia itu apa dan siapa. Kini aku dihadapkan oleh pilihan yang
hebat, pilihan ini bak seutas tali yang mengikat leherku dan menggantungnya di
pohon pertanyaan, pohon yang dihuni oleh jutaan iblis. Ya, pilihan yang
membingungkan akal sempurna ini. Menjadi Penjilat Kemunafikkan atau menjadi
AKU.
Kebingungan ini semakin bernada
mayor, terus-menerus membetotkan senar gitarnya dengan kuat, sehingga
pendengaranku diantarkan pada titik klimaks yang hampir melepaskan laher ini
dari tubuhku. Lingkungan terus menuntutku dan membuatku merasa sangat bosan,
aku seperti kerbau tua yang hidungnya dicucuk dan acap kali dipecut oleh tuannya.
Tuhan, apakah aku harus hidup
seperti mereka? Mereka yang berbaris rapi di rumah-Mu dan hanya bisa meminta
dan menangis dengan syahdu pada-Mu, tapi mereka tidak pernah menangis ketika
banyak maling yang tertawa di gedung itu. Apakah aku harus seperti hamba-Mu
yang lain? mereka yang terus menjual nama-Mu demi keuntungan untuk membeli
minuman alkohol termahal di dunia ini. Tuhan, aku juga tidak ingin menangis
atas dasar ketakutanku akan siksa-Mu
Waktu semakin cepat memaki,
jarum jam semakin ganas menikam hari, dan peluru-peluru hasyutan terus
memberondong akal dan hatiku, di mana akhirnya ovium kemunafikkan selalu datang
menyembuhkanku dan membuatku semakin candu untuk menjilatnya. Lantai bumi ini
sudah terlanjur dikramik dengan batu-batu pengibaan, langit sudah terlanjur
dilukis dengan tinta makian, dan aku tidak ingin menjadi korban sejarah yang
termutilasi menjadi 99 bagian, tanpa pernah tahu di mana saja bagian tubuhku
dicampakkan, dan akhirnya potongan tubuhku, menjadi santapan rohani bagi burung
bangkai.
Seandainya nanti kemunafikkan
yang akan menjadi pilhan hidupku, aku bersumpah akan membunuh semua guruku
sekaligus teman diskusiku, dan akan kubakar semua bukuku, karena nyatanya
mereka tidak berguna dalam hidup kemunafikkan. Guru, teman diskusi, dan buku
hanya akan menjadi hiasan dan terpaku mati di dinding-dinding kemunafikkan.
Tidak! Pedang ini harus
kuangkat, dan nyawa ini harus siap dikorbankan untuk sebuah peng-AKUan, karena
aku tidak ingin mati sebelum mati. Demi Massa, aku akan menjadi manusia paling
merugi bila aku memilih hidup kemunafikkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar