Kamis, 08 Desember 2011

Aku Dan Pilihan Kemunafikan


Aku Dan Pilihan Kemunafikan
Oleh: Idral Mahdi

Banyak manusia yang mendefinisikan makna kehidupan adalah pilihan, sebuah makna yang akan menjadikan manusia itu apa dan siapa. Kini aku dihadapkan oleh pilihan yang hebat, pilihan ini bak seutas tali yang mengikat leherku dan menggantungnya di pohon pertanyaan, pohon yang dihuni oleh jutaan iblis. Ya, pilihan yang membingungkan akal sempurna ini. Menjadi Penjilat Kemunafikkan atau menjadi AKU.

Kebingungan ini semakin bernada mayor, terus-menerus membetotkan senar gitarnya dengan kuat, sehingga pendengaranku diantarkan pada titik klimaks yang hampir melepaskan laher ini dari tubuhku. Lingkungan terus menuntutku dan membuatku merasa sangat bosan, aku seperti kerbau tua yang hidungnya dicucuk dan acap kali dipecut oleh tuannya.

Tuhan, apakah aku harus hidup seperti mereka? Mereka yang berbaris rapi di rumah-Mu dan hanya bisa meminta dan menangis dengan syahdu pada-Mu, tapi mereka tidak pernah menangis ketika banyak maling yang tertawa di gedung itu. Apakah aku harus seperti hamba-Mu yang lain? mereka yang terus menjual nama-Mu demi keuntungan untuk membeli minuman alkohol termahal di dunia ini. Tuhan, aku juga tidak ingin menangis atas dasar ketakutanku akan siksa-Mu

Waktu semakin cepat memaki, jarum jam semakin ganas menikam hari, dan peluru-peluru hasyutan terus memberondong akal dan hatiku, di mana akhirnya ovium kemunafikkan selalu datang menyembuhkanku dan membuatku semakin candu untuk menjilatnya. Lantai bumi ini sudah terlanjur dikramik dengan batu-batu pengibaan, langit sudah terlanjur dilukis dengan tinta makian, dan aku tidak ingin menjadi korban sejarah yang termutilasi menjadi 99 bagian, tanpa pernah tahu di mana saja bagian tubuhku dicampakkan, dan akhirnya potongan tubuhku, menjadi santapan rohani bagi burung bangkai.
Seandainya nanti kemunafikkan yang akan menjadi pilhan hidupku, aku bersumpah akan membunuh semua guruku sekaligus teman diskusiku, dan akan kubakar semua bukuku, karena nyatanya mereka tidak berguna dalam hidup kemunafikkan. Guru, teman diskusi, dan buku hanya akan menjadi hiasan dan terpaku mati di dinding-dinding kemunafikkan.

Tidak! Pedang ini harus kuangkat, dan nyawa ini harus siap dikorbankan untuk sebuah peng-AKUan, karena aku tidak ingin mati sebelum mati. Demi Massa, aku akan menjadi manusia paling merugi bila aku memilih hidup kemunafikkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar