Rabu, 14 Desember 2011

Panggung Revolusi


Panggung Revolusi
Oleh: Idral Mahdi

Masih ingatkah konser perdamaian di Amerika yang menentang invasi militer Amerika ke Vietnam? Konser yang digawangi oleh John Lennon dan kawan-kawan tersebut bertajuk untuk menentang secara keras perang yang dilakoni oleh Amerika, sehingga John Lennon terus dikejar dan diburu oleh badan intelejen Amerika (CIA) karena John Lennon dianggap peberontak oleh Amerika, dan pemburuan tersebut berujung penembakan terhadap John Lennon secara misterius. Revolusi dan perdamaianlah yang mereka tuntut melalui panggung seni, suara-suara perdamaian terus menggemah dan mengguncang panggung.

Bob Marley melawan ketidakadilan dan penindasan dengan kendaraan seni, khusunya dengan seni musik yang dirampung dengan merdu dalam nuansa Reagge. Unsur musik yang kentel dengan etnik Jamaika terus menerus meneriakan anti penindasan yang dilakukan oleh kaum imprialis dan kapitlis. Semangat soul rabell  bukan sekedar sekumpulan kata yang tersusun dalam tatanan lirik lagu Bob Marley, tetapi tentang sebuah pergerakan.

Indonesia dewasa ini sedang galau yang disebabkan masyarakat merasa dipimpin oleh bapak dan ibu yang tidak pantas menjadi pemimpin. Keresahan tersebut dituangkan melalui aksi-aksi para elemen masyarakat yang dilakukan di muka gedung-gedung para birokrat. Atas nama Indonesia yang bersih dan sejahtera mereka melantangkan suara dengan semangat. 

Kini panggung-panggung Indonesia secara mayoritas telah diisi oleh para robot-robot idola. Para idola yang dengan semangatnya terus bersyair tentang teknik romantisme yang seakan puitis, sementara ketimpangan nagara terus mencuat ke bumi pertiwi dengan lahapnya. Lirik-lirik perasaan suka dan senang terhadap lawan jenis menjadi senjata pamungkas untuk meraup keuntungan dan gelar idola, di atas panggung yang seharusnya menjadi wakil nada cuarah rakyat Indonesia telah mereka hapus dengan kepopuleran mereka. 

Hampir seluruh ruang dan panggung telah hilang dari esensi sejatinya, ruang dan panggung kini telah menjadi pasar penjualan irama genit. Lokalisasi seni  menjadi hal yang wajar yang terus dipertontonkan ke masyarakat Indonesia dan menjadi konsumsi sehari-hari sebagai pelepas candu untuk meliahat dan mendegar lirik para idolanya. Dengan kaki yang terluka para idola popular terus dipaksa menari.

Bukankah seharusnya teriak saudarku tentang kepedihan mereka yang mengantre untuk dipancung di negeri orang harus dibungkus dengan nada-nada pembelaan olah para seniman muda negeri ini, sementara bapak dan ibu birokrat yang dengan santainya seliweran ke luar negeri hanya sekedar untuk melepaskan dahaga kekuasaan. Dan antrean tersebut pun semakin panjang dan memanjang.

Saudaraku yang berada di Indonesia timur, kulit mereka tidak lagi hitam manis, karena kini warna kulit mereka telah berubah menjadi hitam pekat yang disebabkan ulah para kapitalis terus menjadikan mereka tamu yang diasingkan ditanah mereka sendiri. kini pertempuran untuk mengusir kapitalis dari tanah mereka adalah santapan rohani yang menggejolak bagi mereka.

Harus ada panggung untuk revolusi. Revolusi seni, budaya, sosial, dan falsafah bangsa. Panggung yang digunakan untuk membicarakan teknik pengibaran sangsaka dengan tulus dan khidmat, dan yang terpenting untuk membicarakan tentang pergerakan pembaharuan, pergerakan yang mengantarkan Negara tercinta ini menuju tempat yang selalu menjadi impian ratusan juta rakyat Indonesia.

Panggung dan ruang kini harus diisi dengan manusia yang sadar akan bagaimana mencintai negerinya. Karena mencintai negeri sendiri adalah mencintai hidup. Cukup sudah para idola populer mengerayangi pangung dan ruang tersebut, dan jangan biarkan juga panggung tersebut dikauasai oleh golongan, ormas, dan partai apa pun yang condong bersifat egosentris untuk kepentingannya sendiri. Karena bumi pertiwi milik setiap rakyatnya yang telah dititipkan oleh Tuhan. 

Ratusan band, penyanyi solo, grup vocal, dan sastrawan yang berada di negeri tercinta ini, dengan genre yang berbeda-beda, yang mereka kuasai, dan mereka sukai sudah pasti mampu menyampaikan pesan revolusi dengan merdu. Karena para seniman  memilki kekuatan besar untuk menggerakan massa agar lebih sadar akan pentingnya kedamaian di negeri sendiri. Para seniman juga mampu menyampaikan pesan persuasif kepada khalayak. Pesan-pesan tentang bobroknya tirani dewasa ini. Tentunya dengan kendaraan seni pesan tersebut harus diangkut dan dihantarkan kepada rakyat dari pintu-ke pintu, dan dari panggung- ke penggung.

Telinga para penguasa tirani harus disumbat dengan nada-nada kebenaran yang indah. Para birokrat harus mulai meresa merinding ketika panggung-panggung meneriakan revolusi untuk negeri tercinta ini, dan bendera-bendera partai harus tergulung ketika dansa mulai terhentak dengan hingar dan menggelgar. 

Seni untuk rakyat, ya seni untuk rakyat. Seni yang diiringi dengan ilmu dan moral yang harus mengisi panggung revolusi karena seni tanpa moral dan ilmu adalah seni cabul atau onani. Mana yang lebih puitis antara pembicaraan tentang syair anggur dan rembulan dibandingkan membicarakan tentang kebanaran dan kedamaian yang hakiki? Karena sejarah seni adalah tentang sebuah pergerakan revolusi. Musik blues, jazz, reagge, Balada, rap, rock, dan yang lain adalah media penyampaian pesan tentang sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.

Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

(Penggelan puisi ‘Sajak Sebatang Lisong’. W.S. Rendra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar