Dialog Embun Dan Daun
Oleh: Idral Mahdi
"Saudah saatnya, ya, memang
jam seginilah Tuhan salalu mempertemukan kami," celoteh Embun di dalam
hatinya. Langit hitam bernuansa cerah hari ini, membuat Embun semakin semangat
untuk bertemu dengan Daun yang sudah lama menunggunya sedari siang tadi.
Embun pun menyiapkan jubah
putihnya yang biasa dikenakanya untuk bertemu Daun. Perjalan kali ini entah
mengapa membuat Embun memiliki perasaan yang tidak enak. "Kenapa ini?
Kenapa hari ini perasaanku tidak enak? padahal aku hanya menjalankan takdirku
untuk selalu bertemu dengan Daun, tapi kenapa seperti ada yang ingin
menghalangi pertemuan kami." Sepanjang jalan Embun selalu berguman di
dalam hatinya tentang perasannya yag tidak enak itu.
Perjalanan singkat Embun pun terhenti,
ia sudah tiba di Daun. "Apa kabar kawan? takdir mempertemukan kita
lagi," sapa Embun kepada Daun. Tapi Daun hanya diam dan termurung.
"Hai Daun kenapa kau diam saja aku datang? Ada apa kawan?" Embun
bingung melihat Daun yang terus diam. "Ceritakan kepadaku apa yang
terjadi?" Embun terus memaksa Daun untuk bercerita.
"Pertemuan ini, pertemuan
yan terakhir untuk kita," ujar Daun dengan nada yang murung.
"Apa maksudmu dengan
pertemuan terakhir?" Tanya Embun.
"Nanti siang" Daun
diam sejenak
"Ada apa degan nanti
siang?" Embun menyelah cerita Daun.
"Nanti siang tanah seluas
satu hektar ini akan menjadi perumahan mewah. Takdir kita hanya sampai di
sini," cerita Daun.
"Manusia sialan!"
Embun marah mendegar cerita dari Daun.
"Jaga mulutmu Embun,"
Daun membentak Embun
"Kenapa kau? Kenapa kau
membela mahluk yang hanya bisa merusak itu? kanapa?"
"Meskipun begitu, mereka
manusia adalah pemimpin kita di bumi ini. Itulah takdirnya," ujar Daun.
"Ya, takdir, takdir mereka
memang tercipta untuk memimpin dan menghancurkan bumi ini. bahkan aku ragu
mereka diberikan akal tapi tidak tahu arti takdir," celoteh embun penuh
kesal.
"Tenang Embun, jangan
biarkan jubahmu yang putih itu ternoda oleh kebencianmu. Kita masih punya
tempat yang lebih indah dari pada tempat yang dipimpin manusia ini, ya,
surgalah tempatnya," ujar Daun berusaha untuk menenangkan Embun.
Embun mulai tenang dan mereka
pun berusaha menghilangka rasa sedih mereke karana harus berpisah untuk
selamanya. Tawa dan senyum itu pun keluar dengan cara pemaksaan, mereka tidak
ingin pertemuan terakhir ini berujung dengan kebencian, amarah dan rasa dendam
di hati mereka.
Mentari mulai memuncak pekat dan
panas, Embun pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan karena ia yakin akan
bertemu kembali dengan Daun di Taman Firdaus. Surya semakin mendaki ke puncak,
gemuruh buldoser dan robot-robot bernyawa sudah tiba di lahan seluas satu
hektar tempat biasa Embun dan Daun salalu berbagi cerita dan rasa.
"Selamat datang pemimpin
bumi," ujar Daun ketika robot-robot bernyawa mulai berkerja sesuai
perintah penguasa tirani untuk mengusir kisah cinta dua mahluk Tuhan itu. Ya,
Embun dan Daun kini telah terusir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar