Kamis, 08 Desember 2011

Dialog Embun Dan Daun


Dialog Embun Dan Daun
Oleh: Idral Mahdi

"Saudah saatnya, ya, memang jam seginilah Tuhan salalu mempertemukan kami," celoteh Embun di dalam hatinya. Langit hitam bernuansa cerah hari ini, membuat Embun semakin semangat untuk bertemu dengan Daun yang sudah lama menunggunya sedari siang tadi.

Embun pun menyiapkan jubah putihnya yang biasa dikenakanya untuk bertemu Daun. Perjalan kali ini entah mengapa membuat Embun memiliki perasaan yang tidak enak. "Kenapa ini? Kenapa hari ini perasaanku tidak enak? padahal aku hanya menjalankan takdirku untuk selalu bertemu dengan Daun, tapi kenapa seperti ada yang ingin menghalangi pertemuan kami." Sepanjang jalan Embun selalu berguman di dalam hatinya tentang perasannya yag tidak enak itu.

Perjalanan singkat Embun pun terhenti, ia sudah tiba di Daun. "Apa kabar kawan? takdir mempertemukan kita lagi," sapa Embun kepada Daun. Tapi Daun hanya diam dan termurung. "Hai Daun kenapa kau diam saja aku datang? Ada apa kawan?" Embun bingung melihat Daun yang terus diam. "Ceritakan kepadaku apa yang terjadi?" Embun terus memaksa Daun untuk bercerita.
"Pertemuan ini, pertemuan yan terakhir untuk kita," ujar Daun dengan nada yang murung.
"Apa maksudmu dengan pertemuan terakhir?"  Tanya Embun.
"Nanti siang" Daun diam sejenak
"Ada apa degan nanti siang?" Embun menyelah cerita Daun.
"Nanti siang tanah seluas satu hektar ini akan menjadi perumahan mewah. Takdir kita hanya sampai di sini," cerita Daun.
"Manusia sialan!" Embun marah mendegar cerita dari Daun.
"Jaga mulutmu Embun," Daun membentak  Embun
"Kenapa kau? Kenapa kau membela mahluk yang hanya bisa merusak itu? kanapa?"
"Meskipun begitu, mereka manusia adalah pemimpin kita di bumi ini. Itulah takdirnya," ujar Daun.
"Ya, takdir, takdir mereka memang tercipta untuk memimpin dan menghancurkan bumi ini. bahkan aku ragu mereka diberikan akal tapi tidak tahu arti takdir," celoteh embun penuh kesal.
"Tenang Embun, jangan biarkan jubahmu yang putih itu ternoda oleh kebencianmu. Kita masih punya tempat yang lebih indah dari pada tempat yang dipimpin manusia ini, ya, surgalah tempatnya," ujar Daun berusaha untuk menenangkan Embun.

Embun mulai tenang dan mereka pun berusaha menghilangka rasa sedih mereke karana harus berpisah untuk selamanya. Tawa dan senyum itu pun keluar dengan cara pemaksaan, mereka tidak ingin pertemuan terakhir ini berujung dengan kebencian, amarah dan rasa dendam di hati mereka.

Mentari mulai memuncak pekat dan panas, Embun pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan karena ia yakin akan bertemu kembali dengan Daun di Taman Firdaus. Surya semakin mendaki ke puncak, gemuruh buldoser dan robot-robot bernyawa sudah tiba di lahan seluas satu hektar tempat biasa Embun dan Daun salalu berbagi cerita dan rasa.

"Selamat datang pemimpin bumi," ujar Daun ketika robot-robot bernyawa mulai berkerja sesuai perintah penguasa tirani untuk mengusir kisah cinta dua mahluk Tuhan itu. Ya, Embun dan Daun kini telah terusir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar