Kamis, 17 November 2011

Jejak Dan Kota


Pagi begitu sunyi, lampu-lampu kota belum dipadamkan, dan cahayanya menyorotkan sisa-sisa  perjalanan malam para hipokrit. Televisi masih bernyanyi tentang maling yang berkotbah apik di mimbar, sang ibu masih mengais sampah demi sibuah hati yang akan beranjak dari putih mereh menjadi putih biru, dan sang bapak masih terus memaki kopi pahit pagi yang kian hitam dan kian pahit. Aku masih mendekam sebuah angan tentang cahaya surya yang mampu membangkitkan putri malu. 

Kini pengharapan hanya sebuah Tanya yang sulit untuk dijawab, entah karena harapan tersebut terlalu berbelit sehingga pertanyaan sulit untuk menjadi landasan bagi jawaban yang masih fiktif. Kini aku pun harus menghadapi tantangan berbentuk lembaran soal ujian yang harus kujawab dengan teori-teori para pemikir yang sudah lebih dulu hidup.

Jalan-jalan kota semakin sempit untuk meletakkan telapak kaki dan jejak yang akan menjadi sebuah catatan. Terlalu banyak mesin yang mengeluarkan asap beracun. Di bibir jalan terlalu banyak anak-anak yang menjadi sapi perah. Apakah gedung-gedung yang mejulang tinggi tersebut tidak mempunyai mata untuk memandang ini semua? Atau mungkin kita terlalu disibukkan oleh sebuah penikmatan sebotol bir? Entahlah, sepertinya pagi hanya sebuah tanda berganti hari, bukan lagi tentang sebuah semangat yang dengan cahayanya para korban akan terbebaskan. Bahkan air mata embun pun berdarah, sebab daun-daun sudah menua dan kering. 

Siang perlahan merangkak ke atas. Teriknya menjilati punggung kuli bangunan yang sedang mengerjakan proyek perumahan mewah. Tepat di dalam tanah yang di atasnya akan didirkan perumahan mewah tersebut, tulang-tulang manusia tak mapu memberontak lagi, hanya ada gelap, sepi, dan sunyi. 

Kini kota tak mampu lagi menjerat teriknya mentari, sebab terlalu banyak api yang telah membakar buku. Kota seperti memberikan isyarat kematian yang kelak akan menjadi kuburan massal bagi para penghuninya. Pria, wanita, tua dan muda akan terkubur bersama harapannya masing-masing. Ketragisan tersebut melebihi nuklir dan tsunami, karena yang terkubur bukan raga atau fisik tetapi akal dan nurani, Ini semua seperti kiaasan kosa kata yang dipertahankan demi pembenaran fiksi. Di mana hampir tidak ada lagi filsuf yang mampu berfilsafat demi kehidupan yang hampir terbunuh oleh kejamnya kota.

Butir-butir kalimat yang jatuh dari bibir para birokrat hanya mampu mendefinisikan warna hitam. Hitam yang telah menjadikan kota sebagai singgasana mereka, mereka yang duduk  tenang dikursi goyang miliyaran rupiah itu, yang dengan satu titah dan perintah mereka, kota berubah menjadi sarang sampah.
Malam seperti mengisyratkan neraka. Topeng-topeng tertelanjagkan oleh segumpal birahi yang menumpuk di kamar hotel pinggiran kota. Banyak yang berkeluh kesah pada tanda-tanda malam tentang rasa gelisah, tentang si Buyung yang menjadi maling sebab nasi ibunya dirampas, tentang si mawar yang menjual senyuman sebab keringat ayahnya terus diperas, dan tentang mobil-mobil mewah yang tersusun rapi di pelataran parkir gedung perjudian.

Lampu-lampu malam kota megerucut ke aspal yang baru saja terguyur hujan. Mengibaskan sisah jejak para petaka yang berjalan sempoyong akibat tertelan lemberan alkohol. Kardus dan Koran bekas terbantang demi meletakkan sebuah mimpi para marjinal kota, dan jika pagi datang tentu mereka akan terusir. Terusir oleh nasib yang mereka sebut malang. 

Malam yang asing membuat para rumput menggigil kedinginan, mencoba menyelimuti diri dengan daging tanah, daging tanah yang terbungkus oleh meteran. Di mana di atasnya berdiri para penonton masa depan yang hampir semua lidah mereka terpotong, lidah yang seharusnya terus membicarakan cahaya untuk malam, dan menentang kemenagan yang diraih oleh perang. 

Malam kota kian hitam, hati para penghuninya kian gelisah, mencoba mencibir kain usang yang sulit untuk dikibarkan. Kalilawar malam pinggiran rel kota beterbangan untuk mencari jawaban atas kegelisahan hati. Terus mangadu nasib dan bertarung dengan iblis, terus berjuang demi nafas yang terus terinjak oleh lembaran sertifikat durjana.

Kemana perginya cahaya? Mengapa terang terasa gelap di kota ini? Jangan katakan semua sinar telah habis dilahap oleh mereka yang tidak pernah tersenyum oleh hangatnya tarian nurani. Atau cahaya sudah muak oleh sinetron yang selalu mendikte semak gubuk reyot?

Kita harus berdiri. Bangkit dari tidur yang selalu menggelapkan kita, yang telah membuat mati suri imajinasi kita. Jawaban telah ditemukan dari setiap pertanyaan yang mecuat dan menghantam. Kaki kita harus terjejak, tangan harus terulur, dan wajah harus tersenyum. Karena ada cahaya yang harus kita bawa untuk kita dan mereka.