Jumat, 20 Januari 2012

Cerpen




SUDUT MALAM
Oleh : Idral Mahdi

Di pojokan tempat sampah itu, kulihat seseorang yang terbujur kaku dan bau  dengan wajah hampa. Kuperhatikan dengan samar berusaha mencuri cahaya bulan agar dapat melihat dengan jelas siapa pria yang terkapar di pojokan itu? Ternyata dia Dakir, tetanggaku yang seorang pedagang asongan. Tragis memang kematiannya,.ia tewas terbunuh dengan luka delapan bacokan di sekujur tubuhnya. Entah manusia seperti apa yang tega melakukan semua itu? Ya sudahlah! Itu takdir dia. Bukan takdirku. Dan yang terjadi adalah kehendak-Nya. Biarkan keharuan ini mereka nikmati.
 
Kini langkahku berhenti di lokalisasisi pelacuran, terlihat puluhan wanita yang sedang membandrol tubuhnya. Dengan harga yang berfariasi tergantung kualitasnya. Terlihat dari kejauhan mobil mewah berkaca hitam mendekati para wanita itu. Dengan seketika para PSK itu berebut rezeki, basa-basi dan mulai transaksi. Mereka yang tak berhasil mendapatkan pandangan mobil mewah itu hanya bisa mengutuk malam dan mencaci maki nasibnya yang kelam. 

Sejujur itukah malam? Dibalik kegelapannya terbungkus wajah yang haus akan kenikmatan dunia. Kaki ini mulai berlari pelan ke sebuah tempat yang tak pernah terpikirkan. Mungkin di tempat berikutnya akan ada pemandangan yang bisa membuat mata ini lebih santai menyaksikan kenyataan. Di persinggahanku kali ini, kusaksikan sekelompok manusia yang sedang bertumpukan di sudut emperan pertokoan. Kuperhatikan tubuh mereka, sedang digerogoti tikus-tikus kotor yang angkuh. Mereka hanya bisa diam, ketika tikus itu menari lincah di batin mereka. Sebab tumpukan manusia itu sudah tak memiliki airmata lagi untuk menangis, taka ada harapan untuk bermimpi, hanya bisa menunggu mati di sudut malam. Tanpa cerita tanpa tawa.

Harus kemana lagi kulangkahkan kaki ini? Lututku mulai bergetar, tetapi yang kucari belum jua kutemui. Semakin terdengar hasutan iblis di telingaku. Mengajakku pergi dari dunia ini. Kutepis teriakan iblis itu karena kuyakin Allah menciptakan kebaikan dan keindahan. Kusandarkan sejenak tubuh ini, di bawah pohon beringin nan rindang. Sejenak akalku berimajinasi membentuk alam rekayasa, hanya ada aku dan perdamaian. Menyatu dengan penghuni surga. Ah Sial! Lagi-lagi terdengar bisikan di telingaku yang menghancurkan alam rekayasaku. Bisikan itu ialah, suara janji-janji para penguasa. 

Kubangkitkan badan ini dari pohon beringin itu. Kupandangi sekilas pohon-pohon di sekitar beringin itu. Kumpulan pohon itu seakan bercerita kepadaku “Wahai manusia bisakah kita bersahabat seperti yang dikehendaki-Nya?” Apakah mungkin ini semua terjadi? Mungkin hanya sebagian manusia yang ingin bersahabat dengan alam, tetapi setidaknya masih ada sebagian yang ingin bersahabat dengan alam.

Kaki ini terus bergerak, peluhku telah bercampur dengan debu jalanan. Tapi, letih belum jua menghampiri tubuhku. Aku harus tetap terus mencari sesuatu yang hilang terkikis oleh budaya barat. Bulan begitu terang dengan riang ia berkilauan, bintang pun seakan tak mau kalah dengan keindahan bulan. Mereka saling bersahutan melemparkan cahayanya di atas langit yang hitam. Terdengar juga suara nyanyian jangkrik dibalik alang-alang liar. Kelompok jangkrik itu bernayanyi dengan lantang menandakan ketidakpuasan terhadap pembangunan. Sungguh maha besar Allah yang menciptakan seluruh alam semesta besarta isinya.

Di sela perjalananku. Tanpa sadar aku sudah berada di tempat yang terkena musibah banjir. Kuperhatikan wajah para korban. Tampak sabar menyambut datangnya musibah itu tanpa memikirkan bagaimana caranya agar anak-cucu mereka dapat hidup dengan damai di masa depan. Ah! Aku tak mau terlalu lama hanyut dalam genangan air ini, biarkan saja mereka menertawai kenyataan itu.

Sial! Mengapa disaat seperti ini letih menghampiriku? Haruskah berhenti gerakan kaki ini? Tidak mungkin! Karena aku belum menemukan kenyataan yang harus kujadikan tempat tinggal untuk selamanya. Lagi-lagi rasa letih dan putus asa menggilas harapanku. Tapi, biarlah semua rasa itu berdansa ria di benakku. Karena dengan semua rasa itu aku mengerti apa tujuan hidupku. Harus kucepatkan langkah ini, aku tak ingin malam meninggalkanku sebelum aku tiba di persinggahan terakhirku. 

Lantunan binatang malam kian terdengar bingar, gedung tinggi, hutan belantara, tanah berlumuran darah, dan makian usang sudah kulalui. hampir semua sudut malam kutertawai dan mereka pun mencibirku. Ada apa ini? Suara apa ini? Baru kali ini aku mendengarkan lantunan syahdu seperti ini yang mampu menggit telingaku dengan lembut. Serentak kuarahkan tubuhku ke tempat suara itu berasal. Kurasakan langkah ini semakin dekat dengan asal nada itu.

Subhanallah! Mungkinkah di sini tempat yang selama ini kucari? Kuperhatikan orang-orang di sekelilingku, bocah-bocah dengan riang menerima ilmu dari guru mengaji mereka. Para ayah tampak ikhlas menjadi pemimpin untuk mengurus semua titipan Allah. Para ibu-ibu pun tak mau ketinggalan, dengan penuh kasih mereka menina bobokan anaknya di dalam pelukanya yang hangat. Seperti tak ada batas diantara mereka. Mereka saling megucapkan salam dan melemparkan senyum apa bila berjumpa di jalan. beban yang berat  bukan halangan bagi mereka untuk saling menolong. Sungguh, pemandangan ini mampu membuatku tersenyum lepas.

Baiklah, sudah kuputuskan inilah tempat terakhir dari perjalananku. Semua tempat yang pernah kulalui akan kujadikan guruku untuk membentuk masa depan yang lebih indah di tempat ini. Ayah-ibu, terima kasih kalian sudah mengusirku dari rumah. Karena dengan semua itu aku bisa menemukan tempat ini.
Tenang ayah, akan selalu kuingat perkataan ayah ketika ayah mengusirku pergi.   “Nak, aku mengusirmu dari rumah ini bukan berarti aku membencimu, karena sudah saatnyalah engkau turun dari pangkuan ibumu. Kau adalah laki-laki nak. Dengan telapak kakimulah seharusnya kau berjalan melewati semua rintangan di luar sana. Jika engkau tetap bersandar kepada kami di tempat ini, takan kau dapati arti hidup yang sesungguhnya. Pergilah dari sini, demi masa depanmu nak.” Semua perkataan ayah takakan pernah kuhapus dari ingatanku, dan terima kasih malam kau telah menemani perjalananku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar