Bunda Setengah Telanjang Bulat
Oleh: Idral Mahdi
Perempuan selalu dijadikan sosok simbolis
oleh beberapa persatuan atau daerah. Oleh karena itu ibu pertiwilah yang
menjadi nama pengganti suatu negeri dan ada juga idu kota yang menjadi sebutan
kota yang menjadi pusat pemerintahan atau perkonomiaan suatu bangsa. Di sini
saya akan bercerita tentang sosok perempuan yang dijadikan simbol Negara, ya,
ibu pertiwi atau bunda pertiwi, sosok perempuan anggun dan cantik yang mengenakan
kebaya mereah dan kerudung putih.
Sungai, laut, rimba, gunung, danau, flora,
fauna, manusia, agama, budaya, suku, desa, dan kota menjadi penghuni tubuh
bunda pertiwi. Bak anak yang terus bermain di pangkuan sang ibu, itulah yang
terjadi dengan para penghuni bunda pertiwi. Plato berkata dulu pernah ada
ledakan gunung-gunung yang sangat dasyat dan telah menenggelamkan pulau yang
sangat indah dan kaya yang bernama Antlantis. Para peneliti melakukan
penelitian untuk mencari Antlantis kaya raya yang telah hilang itu, dan hasil
dari penelitian tersebut mengarah ke Nusantara. Pulau yang sangat kaya inilah
yang bernama Antlantis.
Cerita tidak hanya samapai ditemukannya
Antlantis yang hilang, tapi berlanjut ke cerita tentang kerakusan Imprialis
untuk melakukan perampokan besar-besaran ke Nusantara. Lebih dari tiga setengah
abad Nusantara digerayangi oleh kaum–kaum Imperialis dengan berganti-berganti
Negara yang tergiur akan kekayaan Nusantara yang megah ini. Penderitaan yang
lama ini cukup membuat para pejuang makin bersemangat untuk mengusir para
penjajah dari tanah yang mereka cintai. Perjuanag bukan hanya bercerita tentang
pemebebasan diri dari penindasan penjajah, tapi tentang kelangsungan generasi
selanjutnya yang harus merasakan hidup lebih baik dan lebih menghargai
bangsanya sendiri.
Bunda pertiwi kini kian menua dengan
berjalannya waktu yang terasa cepat. Kebayanya yang merah mulai nampak kusam
dan kerudungnya yang putih mulai terkoyak ujungnya. Orde lama. Orde baru, dan
reformasi telah dilewatinya dengan penuh keraguan, ragu akan siapa sosok yang
mampu memimpinnya dengan ramah dan berani. Bukan hanya sekedar perjalanan yang
telah dilaluinya. Berbagai macam keluh kesah penghuninya juga telah banyak ia
dengarkan. Keluh kesah tentang nusantara yang kaya mengapa harus menjadi petaka
bagi rakyat Indonesia.
Tawa kelakar cukong dan badut-badut serakah
mengantarkan buldoser dan raung gergaji mesin untuk mengunyah isi hutan raya.
Illegal loging mulai menjadi pemandangan yang hangat bagi pribumi desa, sebab
mereka tak mampu berbuat apa-apa. Bukan Negara asing yang bersenjata lengkap
yang mereka lawan, tapi pemimpin daerah korup yang harus mereka ganyang. Tentu
bukan lawan yang mudah ketika saudara sebangsa menjadi musuh sejati, sebab
hukum secara mutlak yang hanya membela sepihak.
Bunda terus digerus kekayaanya. Pertambangan
dan perkebunan secara besar-besaran telah dikuasai oleh asing. Dengan alasan untuk
kesejahteraan rakayat, para pemimpin sepakat untuk mempersilahkan pemodal asing
mendirikan kekuasaannya di atas tubuh bunda pertiwi. Lagi dan lagi kekayaan
nusantara dikuasai oleh asing. Kapitalis yang sejatinya adalah gaya imprialis
yang baru, dengan mengandalkan uang mereka telah mengendalikan para pemimpin
daerah dengan sangat mudahnya. Seakan lupa dengan jasa para pahlawan dulu, para
pemimpin dengan asyiknya menelanjangi pertiwi. Atau mungkin mereka tidak pernah
mendapatkan pelajaran sejarah ketika mereka sekolah dulu.
Satu-persatu benang kebaya merah bunda
pertiwi dilucuti. Manusia yang turun dari gedung-gedung perwakilan rakyat tega
menjadikan manusia pedalam nusantara sebagai hama. Perkebunan di Sumatera dan
pertambangan di Tanah Papua bukan lagi milik pribumi, karena manusia rakus
terlalu bangga dengan membiarkan kapitalis menduduki tanah tersebut. Semua ini
seperti upah dari kebodohan yang dilakukan oleh orang yang mengatur Negara ini,
atau ini semua adalah karma dari hasil yang pernah dilkukan sebelumnya?
Yang mengawasi dan yang diawsi sperti rekan
bisnis, saling menolong dalam segala hal untuk meraih keuntungan. Mereka yang
melakukan pengawasan dengan santaianya memakai topeng mafia ketika melukukan
pengawsan, dan mereka yang diawasi dengan angkuhnya memakai topeng perampok
ketika berseliweran melaksanakan tugas yang seharusnya dilkukan dengan jujur.
Negara ini seperti hanya milik mereka saja. Ratusan juta rakyat yang lainnya
sperti sekumpulan pengontrak yang kapan saja bisa diusir.
Polisi pun semakin membabi buta melayangkan
timah panasnya ke araah tubuh rakyat. Kepolisian repoblik Indonesia telah
menjadi pembunuh bayaran yang bisa disewa oleha siapa saja yang berani membayar
mahal untuk setiap pelurunya. Dengan alasan untuk melindungi daerah-daerah yang
akan menjadi amukan massa secara besar-besaran. Bukankhan peluru tersebut tidak
selayaknya masuk ketubuh pribumi yang hanya ingin menuntut hak-hak mereka yang
dirampas oleh kapitalis. Dan seharusnya peluru-peuluru tersebut di arahkan ke
tubuh para maling berdasi yang dibungkus oleh jas mewah, yang dengan sengaja telah
menelanjangi bunda pertiwi. Ya, para koruptor harus di tembak mati di lapangan
dan ditonton oleh ratusan juta masyarakat Indonesia.
Ketimpangan nusantara terus terlihat dengan
bulat, dan bunda pertiwi pun dibuat hampir telanjang bulat oleh para badut-badut yang
menghuni gedung-gedung pemerintah Republik Indonesia. Betul kata Imam Ali,
kebikan yang tidak teroganisir akan sangat mudah dikalahkan oleh keburukan yang
terorganisir, meskipun keburukan tersebut minoritas. Tapi sepertinya kebaikan
yang menghuni gedung pemerintahan memiliki angka minoritas. Atau memang sistemlah
yang mempersilahkan keburukan untuk menguasai segala aspek di tubuh bunda
pertiwi.
Kedaulatan negeri ini telah dinodai oleh
penghuninya sendiri. Keelokan NKRI seakan hanya tinggal menunggu waktu untuk
dijadikan sejarah kusam untuk generasi mendatang, karena sejarah kemerdekaan
tak mampu membuat para penghuni lebih cinta atas apa yang telah dititipkan
Illahi untuk ratusan juta masryarkat Indonesia. Kebudaya dan adat istiadat
hanya sekedar tontonan untuk menghibur pengunjung asing yang singgah ke negeri
kaya raya ini, bukan lagi tentang mantera-mantera memperkuat mental untuk
berperang. Karena budaya popular telah masuk dan menyatu ke tubuh generasi muda
pertiwi.
Setengah telanjag bulat sudah buda pertiwi,
sang saka pun berkibar setengah tiang, tertiup angin keraguan yang kian
mencuaat. Tapi para pencinta negeri ini tidak akan membiarkan tanah kaya raya
ini telanjang bulat, bagi para pecinta pertiwi mencintai Indonesia adalah
mencintai hidup. Gerakan pembaharuan terus dilancarkan, meskipun itu hanya
membuat geli para badut-badut berdasi. Perjuangan adalah harga mati bagi pecinta
pertiwi. Bunda pertiwi harus tetap terlihat cantik dengan kebaya merah dan kerudung putihnya.
Sekeneraio perbudakan harus dirubah. Cukup
sudah kita menjadi penonton yang duduk diam di luar panggung, sementara sang
sutradara terus membuat cerita yang kian memuakan. Mereka telah mengaku
berhasil membuat alur cerita kesejahteraan dengan menunjukan angka statistik di
telvisi, sementara berton-ton keringat siap untuk diekspor ke luar negeri dan
ber ton-ton sayur/buah dibeli dari negeri luar. Kesejahteraan bukan hanya sekedar
cerita angka-angka. Tapi kenyataan yang harus digambarkan di desa-desa dan
pinggiran kota. Cukup sudah sekenario penelanjangan bunda pertiwi ini. Rasa cinta
dan nasionalis yang besar harus menggantikan pekaian bunda pertiwi, ya, untuk
menutupinya dari tangan-tangan maling yang rakus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar