SUDUT MALAM
Oleh : Idral
Mahdi
Di pojokan
tempat sampah itu, kulihat seseorang yang terbujur kaku dan bau dengan wajah hampa. Kuperhatikan dengan samar berusaha mencuri cahaya bulan agar dapat
melihat dengan jelas siapa pria yang terkapar di pojokan itu? Ternyata dia
Dakir, tetanggaku yang seorang pedagang asongan. Tragis memang kematiannya,.ia tewas terbunuh dengan luka delapan bacokan
di sekujur tubuhnya. Entah manusia seperti apa yang tega melakukan semua itu?
Ya sudahlah! Itu takdir dia. Bukan takdirku. Dan yang terjadi adalah
kehendak-Nya. Biarkan keharuan ini mereka nikmati.
Kini langkahku
berhenti di lokalisasisi pelacuran,
terlihat puluhan wanita yang sedang membandrol tubuhnya. Dengan harga yang
berfariasi tergantung kualitasnya. Terlihat dari kejauhan mobil mewah berkaca
hitam mendekati para wanita itu. Dengan seketika para PSK itu berebut rezeki,
basa-basi dan mulai transaksi. Mereka yang tak berhasil mendapatkan pandangan
mobil mewah itu hanya bisa mengutuk malam dan
mencaci maki nasibnya yang kelam.
Sejujur itukah
malam? Dibalik kegelapannya terbungkus wajah yang haus akan kenikmatan dunia.
Kaki ini mulai berlari pelan ke sebuah
tempat yang tak pernah terpikirkan. Mungkin di tempat berikutnya akan ada
pemandangan yang bisa membuat mata ini lebih santai menyaksikan kenyataan. Di
persinggahanku kali ini, kusaksikan sekelompok manusia yang sedang bertumpukan
di sudut emperan pertokoan. Kuperhatikan tubuh mereka, sedang digerogoti
tikus-tikus kotor yang angkuh. Mereka hanya bisa diam, ketika tikus itu menari
lincah di batin mereka. Sebab tumpukan manusia itu sudah tak memiliki airmata
lagi untuk menangis, taka ada harapan untuk bermimpi, hanya bisa menunggu mati
di sudut malam. Tanpa cerita tanpa tawa.
Harus kemana
lagi kulangkahkan kaki ini? Lututku mulai bergetar, tetapi yang kucari belum
jua kutemui. Semakin terdengar hasutan iblis di telingaku. Mengajakku pergi
dari dunia ini. Kutepis teriakan iblis itu karena kuyakin Allah menciptakan kebaikan dan keindahan. Kusandarkan sejenak tubuh ini, di bawah pohon beringin nan
rindang. Sejenak akalku berimajinasi membentuk alam rekayasa, hanya ada aku dan
perdamaian. Menyatu dengan penghuni surga. Ah Sial! Lagi-lagi terdengar bisikan
di telingaku yang menghancurkan alam rekayasaku. Bisikan itu ialah, suara
janji-janji para penguasa.
Kubangkitkan
badan ini dari pohon beringin itu. Kupandangi sekilas pohon-pohon di sekitar
beringin itu. Kumpulan pohon itu seakan bercerita kepadaku “Wahai manusia
bisakah kita bersahabat seperti yang dikehendaki-Nya?” Apakah mungkin ini semua
terjadi? Mungkin hanya sebagian manusia yang ingin bersahabat dengan alam,
tetapi setidaknya masih ada sebagian yang ingin bersahabat dengan alam.
Kaki ini terus
bergerak, peluhku telah bercampur dengan debu jalanan. Tapi, letih belum jua
menghampiri tubuhku. Aku harus tetap terus mencari sesuatu yang hilang terkikis
oleh budaya barat. Bulan begitu terang dengan riang ia berkilauan, bintang pun
seakan tak mau kalah dengan keindahan bulan. Mereka saling bersahutan
melemparkan cahayanya di atas langit yang hitam. Terdengar juga suara nyanyian
jangkrik dibalik alang-alang liar. Kelompok jangkrik itu bernayanyi dengan
lantang menandakan ketidakpuasan terhadap pembangunan. Sungguh maha besar Allah
yang menciptakan seluruh alam semesta besarta isinya.
Di sela perjalananku. Tanpa sadar aku sudah berada di tempat yang
terkena musibah banjir. Kuperhatikan wajah para korban. Tampak sabar menyambut
datangnya musibah itu tanpa memikirkan bagaimana caranya agar anak-cucu mereka
dapat hidup dengan damai di masa depan. Ah! Aku tak mau terlalu lama hanyut
dalam genangan air ini, biarkan saja mereka menertawai kenyataan itu.
Sial! Mengapa
disaat seperti ini letih menghampiriku? Haruskah berhenti gerakan kaki ini?
Tidak mungkin! Karena aku belum menemukan
kenyataan yang harus kujadikan tempat tinggal untuk selamanya. Lagi-lagi rasa
letih dan putus asa menggilas harapanku. Tapi, biarlah semua rasa itu berdansa
ria di benakku. Karena dengan semua rasa itu aku mengerti apa tujuan hidupku.
Harus kucepatkan langkah ini, aku tak ingin malam meninggalkanku sebelum aku
tiba di persinggahan terakhirku.
Lantunan
binatang malam kian terdengar bingar, gedung tinggi, hutan belantara, tanah
berlumuran darah, dan makian usang sudah kulalui. hampir semua sudut malam
kutertawai dan mereka pun mencibirku. Ada apa ini?
Suara apa ini? Baru kali ini aku mendengarkan lantunan syahdu seperti ini yang
mampu menggit telingaku dengan lembut. Serentak kuarahkan tubuhku ke tempat
suara itu berasal. Kurasakan langkah ini semakin dekat dengan asal nada itu.
Subhanallah!
Mungkinkah di sini tempat yang selama ini kucari? Kuperhatikan orang-orang di
sekelilingku, bocah-bocah dengan riang menerima ilmu dari guru mengaji mereka.
Para ayah tampak ikhlas menjadi pemimpin untuk mengurus semua titipan Allah.
Para ibu-ibu pun tak mau ketinggalan, dengan penuh kasih mereka menina bobokan
anaknya di dalam pelukanya yang hangat. Seperti tak ada batas diantara mereka.
Mereka saling megucapkan salam dan melemparkan senyum apa bila berjumpa di
jalan. beban yang berat bukan halangan
bagi mereka untuk saling menolong. Sungguh, pemandangan ini mampu membuatku tersenyum
lepas.
Baiklah, sudah
kuputuskan inilah tempat terakhir dari perjalananku. Semua tempat yang pernah
kulalui akan kujadikan guruku untuk membentuk masa depan yang lebih indah di
tempat ini. Ayah-ibu, terima kasih kalian sudah mengusirku dari rumah. Karena
dengan semua itu aku bisa menemukan tempat ini.
Tenang ayah,
akan selalu kuingat perkataan ayah ketika ayah mengusirku pergi. “Nak, aku mengusirmu dari rumah ini bukan
berarti aku membencimu, karena sudah saatnyalah engkau turun dari pangkuan
ibumu. Kau adalah laki-laki nak. Dengan telapak kakimulah seharusnya kau
berjalan melewati semua rintangan di luar sana. Jika engkau tetap bersandar
kepada kami di tempat ini, takan kau dapati arti hidup yang sesungguhnya.
Pergilah dari sini, demi masa depanmu nak.” Semua perkataan ayah takakan pernah
kuhapus dari ingatanku, dan terima kasih malam kau telah menemani perjalananku.